Pada edisi Juni ini,
saya menulis tentang ruang baca. Sebuah edisi khusus yang membahas tentang
buku-buku yang ‘dulu’ pernah saya baca. Saya menuliskan kembali catatan-catatan tentang buku
yang pernah saya baca tersebut di edisi ruang baca. Meskipun dengan segala
keterbatasan tulisan dan bahan(karena saya tidak bisa menyertakan foto dari
buku-buku tersebut karena kebetulan buku yang baca tersebut buku pinjaman di
perpustakaan atau di ruang baca) maka dengan sangat terpaksa tidak ada
dokumentasinya.
Berikut ini tulisan saya untuk edisi 1 ruang baca
Judul
Buku :
Layang – Layang Putus
Pengarang :
Masharto Al Fathi
Penerbit :
DAR! MIZAN
Tahun
Terbit :
Dzulhijjah 1425 H/Februari 2005
Jumlah
Halaman : 288 hlm
Ketidaksempurnaan
merupakan semangat yang tidak ada habis-habisnya bagi orang yang memilikinya. Kadang,
ketidaksempurnaan dapat melahirkan inspirasi yang cerdas, berbobot
dan menyentuh. Begitu pula kesan yang dapat ditangkap dari pengarang buku Layang-Layang
Putus ini, ketidaksempurnaan yang diderita oleh sang pengarang dapat
diubahnya menjadi inspirasi sebuah buku. Sang pengarang bisa melepaskan diri
dari rasa minder, tidak berarti dan tidak mampu menghasilkan karya yang bagus
seperti hasil karya-karya manusia normal lainnya. Justru dengan
ketidaksempurnaan fisik yang dideritanya, sang pengarang bisa menghasilkan
karya-karya yang tidak bisa dibilang jelek. Sungguh, suatu pencapaian yang
membanggakan.
Secara
garis besar, buku ini bercerita tentang Yoyok, seorang difabel yang disisihkan
atau dipinggirkan dari masyarakat yang ada di sekitarnya. Seolah-olah difabel
itu aib bagi orang yang menderitanya, dikucilkan dan bahkan sering dianggap
sebelah mata. Yoyok, tokoh utama buku ini merupakan anak orang miskin yang
sejak kecil harus berpikir keras bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan yang
dimilikinya dianggap normal oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Difabel
bukan akhir dari kehidupan normal orang-orang yang menderitanya. Buktinya,
Yoyok mampu menjadi sarjana dan meraih pekerjaan seperti manusia normal
lainnya. Walaupun pada akhirnya ada saja bagian dari masyarakat yang tidak mau
menerima kekurangannya.
Buku
ini ditulis dengan latar belakang cerita yang kuat. Menggunakan bahasa
sehari-hari sehingga jalan penceritaannya hidup. Seakan-akan kita sendiri hidup
di Kaliwiru dan Yogyakarta yang memiliki suasana Jawa yang kental. Cara penulisan
seperti ini mengingatkan kita akan gaya penulisan sastrawan besar Umar Kayam.
Selain
itu, di buku ini terdapat juga beberapa pertanyaan menggelitik tentang berbagai fenomena-fenomena yang ada
di sekelilingnya. Belum lagi, kritik-kritik sosial yang sekekali dilontarkankan
dalam buku ini. Namun dibalik kelebihan-kelebihan buku ini ada juga beberapa
hal yang bisa menjadi kekurangannya: kadang-kadang, bahasa keseharian yang
digunakan oleh orang desa di dalam buku ini terlalu tinggi untuk ukuran normal
sehingga agak mengganggu. Selain itu, ada beberapa bagian yang terlalu
melankolis.
Akhir
kata, banyak hal tentang orang-orang difabel yang bisa kita pahami dari buku
ini. Sekali lagi, ketidaksempurnaan terkadang juga suatu motivasi luar biasa
bagi kehidupan ini. Tetap memberi arti di tengah segala keterbatasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar