Ruang Baca

Ruang Baca

Senin, 01 Juni 2020

Ruang Baca 1 : Layang – Layang Putus

Pada edisi Juni ini, saya menulis tentang ruang baca. Sebuah edisi khusus yang membahas tentang buku-buku yang ‘dulu’ pernah saya baca. Saya menuliskan kembali catatan-catatan tentang buku yang pernah saya baca tersebut di edisi ruang baca. Meskipun dengan segala keterbatasan tulisan dan bahan(karena saya tidak bisa menyertakan foto dari buku-buku tersebut karena kebetulan buku yang baca tersebut buku pinjaman di perpustakaan atau di ruang baca) maka dengan sangat terpaksa tidak ada dokumentasinya.

Berikut ini tulisan saya untuk edisi 1 ruang baca

Judul Buku                  : Layang – Layang Putus
Pengarang                   : Masharto Al Fathi
Penerbit                       : DAR! MIZAN
Tahun Terbit                : Dzulhijjah 1425 H/Februari 2005
Jumlah Halaman          : 288 hlm

Ketidaksempurnaan merupakan semangat yang tidak ada habis-habisnya bagi orang yang memilikinya. Kadang, ketidaksempurnaan dapat melahirkan inspirasi yang cerdas, berbobot dan menyentuh. Begitu pula kesan yang dapat ditangkap dari pengarang buku Layang-Layang Putus ini, ketidaksempurnaan yang diderita oleh sang pengarang dapat diubahnya menjadi inspirasi sebuah buku. Sang pengarang bisa melepaskan diri dari rasa minder, tidak berarti dan tidak mampu menghasilkan karya yang bagus seperti hasil karya-karya manusia normal lainnya. Justru dengan ketidaksempurnaan fisik yang dideritanya, sang pengarang bisa menghasilkan karya-karya yang tidak bisa dibilang jelek. Sungguh, suatu pencapaian yang membanggakan.

Secara garis besar, buku ini bercerita tentang Yoyok, seorang difabel yang disisihkan atau dipinggirkan dari masyarakat yang ada di sekitarnya. Seolah-olah difabel itu aib bagi orang yang menderitanya, dikucilkan dan bahkan sering dianggap sebelah mata. Yoyok, tokoh utama buku ini merupakan anak orang miskin yang sejak kecil harus berpikir keras bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan yang dimilikinya dianggap normal oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Difabel bukan akhir dari kehidupan normal orang-orang yang menderitanya. Buktinya, Yoyok mampu menjadi sarjana dan meraih pekerjaan seperti manusia normal lainnya. Walaupun pada akhirnya ada saja bagian dari masyarakat yang tidak mau menerima kekurangannya.

Buku ini ditulis dengan latar belakang cerita yang kuat. Menggunakan bahasa sehari-hari sehingga jalan penceritaannya hidup. Seakan-akan kita sendiri hidup di Kaliwiru dan Yogyakarta yang memiliki suasana Jawa yang kental. Cara penulisan seperti ini mengingatkan kita akan gaya penulisan sastrawan besar Umar Kayam.

Selain itu, di buku ini terdapat juga beberapa pertanyaan menggelitik  tentang berbagai fenomena-fenomena yang ada di sekelilingnya. Belum lagi, kritik-kritik sosial yang sekekali dilontarkankan dalam buku ini. Namun dibalik kelebihan-kelebihan buku ini ada juga beberapa hal yang bisa menjadi kekurangannya: kadang-kadang, bahasa keseharian yang digunakan oleh orang desa di dalam buku ini terlalu tinggi untuk ukuran normal sehingga agak mengganggu. Selain itu, ada beberapa bagian yang terlalu melankolis.

Akhir kata, banyak hal tentang orang-orang difabel yang bisa kita pahami dari buku ini. Sekali lagi, ketidaksempurnaan terkadang juga suatu motivasi luar biasa bagi kehidupan ini. Tetap memberi arti di tengah segala keterbatasan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar