Ruang Baca

Ruang Baca

Rabu, 05 Maret 2014

A Beautiful Mind: a stories of struggling, faith and sincerity

Judul Film : a Beautiful Mind
Pemain       : Russel Crowe, Jenifer Connely


            Batas antara jenius dan gila memang sangat tipis, hal tersebut dapat kita buktikan dari kisah film ini. Yep, kali ini Hira akan membahas sebuah film yang berjudul a Beautiful Mind, sebuah film beberapa tahun lalu yang sangat membekas di benak Hira. Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata John Nash, seorang pemenang Nobel bidang ekonomi.  John Nash sang pakar matematika memang sangat jenius tetapi hal ini juga yang menyebabkan ia menderita penyakit jiwa skizofrenia. Nash memang beruntung dikaruniai tuhan otak yang jenius sehingga hari-harinya selalu diisi dengan otak-atik rumus yang rumit bin jelimet. Akan tetapi karunia tersebut juga berarti musibah, kejeniusannya mengurung Nash dalam benteng tinggi yang tidak terdaki orang lain, Nash menjadi sosok individualis yang tidak punya teman ngobrol dan berbagi. Akhirnya karunia ini pulalah yang menjebloskannya ke dalam lingkaran skizofrenia, ia berfantasi tentang teman sekamarnya yang bernama Charles (pada kenyataannya di Asrama Princeton, ia tidak punya teman sekamar). Fantasi tersebut semakin menjadi-jadi dengan hadirnya tokoh-tokoh fantasi baru yaitu keponakan Charles dan agen FBI.
            Beruntunglah Nash memiliki istri yang cantik, cerdas dan setia. Istrinya tersebut tiada henti memberi dukungan kepadanya, baik ketika ia dinyatakan gila maupun ketika harus menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Istrinyalah yang menjadi penopang keluarga ketika ia diberhentikan dari pekerjaannya di Princeton University, pun ketika ia memutuskan berhenti dari terapi pengobatannya. Istrinya dengan sabar, merawat dan membesarkan hatinya. Sampai ia terpacu dengan cinta sang istri dan bertekad untuk melawan penyakitnya.
            Nash memutuskan untuk kembali ke lingkungan Princeton, ia pun memohon bantuan teman seangkatan kuliahnya yang telah menjadi Dekan di kampus tersebut agar ia diperbolehkan menikmati fasilitas perpustakaan kampus. Ia ingin tetap berkarya dan memanfaatkan kejeniusan otaknya. Hari-hari berat pun dilaluinya, tatapan sinis dan ejekan diterimanya dengan lapang dada. Ia pun sering dikerubungi oleh sekumpulan manusia yang penasaran dengan tingkah anehnya. Belum lagi ia selalu dipojokkan oleh tokoh-tokoh fantasi yang selalu mengiringinya kemanapun ia pergi. Tetapi ia tetap tidak bergeming dan usahanya tersebut mulai menunjukkan titik terang, Suatu hari  ada mahasiswa Princeton University yang penasaran dengan hobinya dalam mengotak-atik rumus di kaca jendela perpustakaan maka mahasiswa tersebut memintanya menjabarkan rumus sulit. Sedikit demi sedikit teman-teman mahasiswa tersebut tertarik dengan penjabaran Nash sampai akhirnya terbentuklah kelompok belajar yang besar. Hal ini pulalah yang menyebabkan pihak Princeton luluh dan menyetujui rencana Nash untuk kembali mengajar di kampus tersebut. Tekad dan perjuangannya ini tidak sia-sia, namanya kembali dikenal oleh kalangan akademis dan para ilmuwan. Penemuannya tentang "keseimbangan equilibrium ekonomi" diganjar dengan hadiah Nobel. Sebuah hasil perjuangan yang manis dan Nash sekeluarga memang patut mendapatkannya.
            Film ini layak Hira rekomendasikan untuk ditonton, selain kisahnya yang menarik dan inspiratif, akting Crowe sebagai pemeran Nash begitu menarik; dari sosok yang jenius dan angkuh menjadi penderita skizofrenia yang bingung, gamang dan begitu menderita. Begitu juga akting Connely sebagai istri yang cerdas, pengertian dan kadang juga gamang sehingga ia layak diganjar dengan piala Oscar sebagai pemeran pembantu wanita terbaik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar