Ruang Baca

Ruang Baca

Rabu, 27 Desember 2017

Mengenang Pak Git

Masih teringat jelas sesosok figur bertubuh besar yang selalu duduk di koridor kampus, otomatis mahasiswa yang baru datang atau pergi dari kampus harus melewati beliau. Hal ini sangat menyebalkan bagi kami, para mahasiswa TP. Penyebabnya sih sepele, kami tidak bisa lewat begitu saja, ada beberapa pertanyaan yang selalu dan selalu beliau tanyakan “Kamu berasal dari mana? Masih adakah lahan-lahan pertanian di tempatmu tinggal? Kalau ada, alat pertanian apa saja yang digunakan oleh masyarakat di sana? Jenis tanah yang ada di sana apa? Tanahnya cocok ditanami apa?dsb. Hebatnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diulang-ulang kembali ketika kami berpapasan dengan beliau, tanpa rasa bosan dan selalu dicatat. Sebaliknya, kami (para mahasiswa beliau) merasa bosan dan aneh dengan pertanyaan-pertanyaan beliau tersebut karena kami pikir jika pertanyaan dilontarkan sekali selama satu bulan akan wajar dan tak jadi masalah tapi ini setiap bertemu selalu menanyakan hal yang sama, siapa sih yang enggak bosan dan uring-uringan?. ^^ Makanya setiap datang atau pergi dari kampus, kami selalu mengendap-endap agar tak bertemu dengan beliau. Kalaupun kami bertemu pasti ada seribu alasan untuk mangkir dari pertanyaan-pertanyaan beliau.
Lain lagi ceritanya kalau waktu kuliah. Setiap waktu mata kuliah beliau, kami akan berebutan tempat duduk di barisan tengah. Istilahnya kami gontok-gontokan dulu untuk dapat tempat duduk di barisan tengah karena enggak mungkin kan semua mahasiswa beliau dapat tempat duduk tersebut. Beliau terkenal sangat alergi dengan mahasiswa yang duduk di barisan belakang. Pasti, sebelum kuliah beliau dimulai, mahasiswa-mahasiswa yang duduk di barisan belakang harus pindah ke depan. Ini hal yang kami hindari banget karena kami, para mahasiswa yang otaknya alakadarnya sangat alergi untuk duduk di barisan depan. Kami tak ingin mempermalukan diri kami dan sebisa mungkin menghindari barisan depan. ^^ Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Pak Git suka melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada para mahasiswa yang duduk di depan. Apalagi beliau sudah kondang dengan kegalakannya, tidak ada ampun bagi mahasiswa yang tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau.
Alkisah, pada salah satu kuliah beliau, seorang teman kami berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau dengan lugas dan sebaik-baiknya. Tetapi respon beliau sungguh di luar dugaan, teman kami tersebut disemprot habis-habisan karena menurut beliau, teman kami tidak mendasarkan jawabannya dengan dasar-dasar ilmu, hanya berupa perkiraan. Ujung-ujungnya teman kami mendapat ceramah panjang: .............”Sebagai sarjana TP harusnya lebih ahli dari petani yang ditelitinya. Bukannya hanya asal mengikuti cara yang lazim digunakan oleh para petani. Tetapi harus lebih banyak tahu dan bisa membuktikannya secara ilmiah bla....bla...bla... “ Pernah juga salah satu teman perempuan kami merasakan kegalakan beliau, gara-garanya mahasiswi tersebut tidak bawa buku catatan kuliah. Penyebabnya sih klasik ‘kelupaan karena sibuk mengerjakan laporan praktikum.’ Ehmm..bisa ditebak akhirnya, mahasiswi tersebut mendapat nasihat panjang lebar dari beliau: ...”Sebagai manusia harusnya malu dengan keteledoran tersebut. Seorang muslimah harus menunjukkan identitasnya, sebagai bukti ketaatannya sebagai hamba bla...bla... “ Bagi beliau, catatan itu sama pentingnya dengan kehadiran mahasiswa di ruang kuliah beliau. Makanya, beliau tidak segan-segan menegur mahasiswa yang tidak membuat catatan dari materi kuliah beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar