Segala sesuatu harus ada closure-nya meskipun itu pedih dan menyakitkan, itulah kenyataan yang harus diterima. Rasa sakit hanyalah sebuah warna dalam kehidupan manusia, tak selamanya mengendap jadi warna tunggal dalam hidup ini. Adakalanya kita perlu merasakan sakit ini untuk benar-benar menikmati hidup.
Tentang rasa ini pula,Saya sampai tidak bisa berkata-kata lagi, bukankah logika sudah bilang bahwa ini adalah hal yang terbaik tapi terkadang hati tak mau seirama dan sekata, tetap berusaha menentang logika. Beruntunglah atau merugilah saya karena eneagram romantik saya, rasa tersebut semakin terasa. Semakin saya acuhkan maka semakin menekan rasa tersebut sampai akhirnya saya menyadari bahwa saya butuh closure dari rasa ini. Saya enggak seharusnya mengecilkannya tapi saya sudah seharusnya mengelolanya dan mengatasinya, sehingga pada akhirnya rasa dari energi ini menjadi energi kreatif. Sudah lama saya tenggelam dalam ketidakberdayaan dan kepasrahan akan tuntunan kerja yang tiada habisnya dan ternyata.....hal tersebut salah besar. Terkadang saya ingin jalan pintas dan terkadang tanpa saya sadari jika ingin mencari pelarian. So, saya sadar ini akibat dari saya tidak mengelola perasaan saya dengan baik. Pikiran bawah sadar tersebut sengaja tak mau saya sadari dan indahkan sampai akhirnya menekan dan memberi efek bagi kehidupan saya.
Manusia paham konsep ikhlas dan sudah paham juga bahwa apa-apa dalam hidup ini adalah milik Tuhan dan kita manusia hanyalah peminjam. Tapi sebagai manusia, ada waktunya saya benar-benar lupa konsep tersebut ketika harus mengembalikan apa-apa yang bukan milik saya. Saya hanya diam dan diam, dan sialnya tanpa menyadarinya rasa ini memberi efek negatif bagi bawah sadar saya. Meski berkali-kali ada saat saya bilang bahwa saya ikhlas dan bisa melanjutkan hidup saya tanpa terpengaruh. Tetap saja hal tersebut masuk ke bilik pikiran saya. Padahal harusnya saya melihat rasa tersebut sebagai energi kreatif, iya, rasanya sudah lama banget saya enggak nulis dan ngembangin otak kanan saya. Dan efeknya baru terasa kemarin, ketika saya memaksakan diri untuk menulis, energi saya menjadi melimpah lagi dan tanpa saya niatkan pun pekerjaan saya ikut terselesaikan. Saya seperti mendapatkan energi lebih untuk berbuat n melakukan apapun. Saya pun jadi punya arah lagi dalam hidup. Selama beberapa bulan ini tanpa saya sadari bahwa saya telah memaksakan diri saya untuk mengikuti ritme hidup manusia normal, mencoba ikut alur hidup orang banyak tetapi lagi-lagi hal tersebut salah, saya seperti kehabisan energi untuk hidup. Saya kudu bangun lagi, ini bukan waktunya saya membandingkan legenda hidup saya dengan orang lain. Ini waktu bagi saya untuk memberi closure bagi rasa ini dan meneruskan hidup seterusnya. Ini seperti membuka buku harian lama saya, membuka lembar demi lembarnya. Menyaksikan slide kehidupan saya, dan entahlah kepala saya pusing tiba-tiba ketika saya membuang pikiran negatif tersebut ke tong sampah tulisan. Ternyata, oh ternyata rasa ini sudah semakin jauh, tertanam diam-diam dan berakar pelan-pelan tanpa disadari. Maka tak heran jika proses mencerabutnya membuat hati berdarah-darah, mencoba tak mengindahkan dan berupaya membiarkannya hanya menambah buruk kondisi, terkadang tiba-tiba tanpa diduga rasa ini mengakar semakin dalam.
So, ini waktu yang tepat untuk mencabut semua akarnya meski berdarah-darah dan meninggalkan luka, closure ini adalah upaya untuk hidup lebih baik
Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk, manusia hanya hamba-Nya. Tak sepatutnya menyerah untuk terus memperbaiki diri. So sudah sewajarnya pula rasa sakit ini kita rasakan, ada saatnya kita hilang kendali sesaat saat kehilangan tetapi ada saatnya kita kembali lagi sebagai manusia. Seumpama bayi yang baru lahir, bersih dari rasa benci, jengkel, marah dan dendam.
Dalam kenangan "Beti" si kelinci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar